Halaman

Senin, 22 Oktober 2007

KEJAHATAN TERJADI JUGA KARENA ADANYA KESEMPATAN

Oleh: Al-Kamal*


Pada Selasa 09 Oktober 2007 sekitar jam 02. 00 dini hari, seorang mahasiswa Fakultas Filsafat UGM angkatan 2003 yang bernama Suryadi, tanpa alasan jelas, ditembak oleh seorang anggota polisi Polres Sleman, Yogyakarta. Peristiwa tersebut terjadi di Jl. Yogya-Solo, tepatnya di depan Shangri-La Garden. Peluru masuk ke pantat kiri dan menembus keluar melalui paha kanan Suryadi. Tidak hanya terjangan timah panas yang diterima oleh Suryadi, namun juga kekerasan psikis seperti umpatan, cacian, ejekan, ancaman, kata-kata kasar yang dilontarkan oleh pelaku dan rekan-rekan pelaku penembakan setelah peristiwa tersebut.






Kapolres Sleman mengatakan bahwa peristiwa tertembaknya Suryadi hanyalah karena masalah kesalah-pahaman. Sebuah penilaian yang tergesa-gesa dikeluarkan, karena proses pengusutannya sendiri juga belum jelas sampai di mana. Suryadi juga belum dimintai keterangan secara resmi oleh pihak Polisi.

Di tengah jaman yang tengah berubah, aparat kembali mempraktekkan watak-watak lama warisan Orde Baru: arogansi kekuasaan. Struktur dan kultur tiran yang dibangun oleh rezim lama ternyata tidak mudah dikikis oleh tuntutan reformasi yang didesakkan rakyat dan mahasiswa semenjak sembilan tahun lalu. Padahal, salah satu tujuan reformasi adalah terciptanya profesionalitas Kepolisian RI, dan hal ini pula yang menjadi alasan mengapa dilakukan pemisahan Kepolisian dari Tentara. Jika kesalahan masa lalu diulang kembali, notabene dilakukan oleh seorang polisi generasi muda, di manakah letak persoalan yang belum terpecahkan? Apakah kesalahan ini semata dilakukan oleh seorang oknum Polisi? Ataukah memang terdapat persoalan kelembagaan di internal Kepolisian sendiri yang hingga kini belum selesai, dan persoalan tersebut diwariskan terus menerus?

Dua minggu yang lalu kita dikejutkan oleh berita tentang dugaan keterlibatan mantan Kapolres dan Wakapolres Cirebon dalam kasus pencurian mobil mewah. Belum lagi berita-berita bentrokkan antar aparat keamanan beberapa waktu terakhir. Sekarang seorang polisi menembak seorang mahasiswa yang hendak mengadakan acara sahur bersama. Rakyat tentu prihatin dan sedih atas peristiwa tersebut. Aparat kepolisian dibiayai oleh rakyat, namun mengapa kelakuannya menyakiti hati rakyat? Aplagi biaya yang dikeluarkan rakyat untuk membiayai aparat keamanan tidaklah sedikit. Misalnya, sebagaimana disebutkan oleh Makbul Padmanegara sendiri beberapa waktu lalu, untuk membiayai pendidikan seorang taruna akademi polisi dibutuhkan kurang lebih Rp 150 juta. Bermoralkah kemudian jika aparat yang telah dibiayai sedemikian besar oleh rakyat malah sewenang-wenang pada rakyat?


Peristiwa yang dialami Suryadi bukanlah yang pertama kalinya di negeri ini. Peristiwa tersebut mungkin juga bukan yang terakhir, apalagi jika kita hanya berdiam diri ketika tindakan kesewenang-wenagan aparat meraja lela. Oleh karena itu, kita harus menghentikan kesombongan dan kesewenang-wenangan aparat. Gerakan Reformasi 98 memberi pelajaran pada kita bahwa keyakinan pada kebenaran merupakan kekuatan yang mampu melawan dan mengalahkan kesewenang-wenangan. Penembakan terhadap Suryadi merupakan salah satu wujud kesewenang-wenangan dan arogansi yang telah melembaga didalam tubuh Kepolisian RI, yang telah dimapankan oleh struktur dan kultur di dalam Kepolisian RI. Terdapat kebrobrokan sistemik dan pembusukan kultural yang diidap di dalam tubuh Kepolisian RI.


Memang hingga saat ini hukum pidana umum belum dapat diterapkan pada kalangan aparat polisi maupun tentara, karena terganjal masalah perundang-undangan. Namun hal ini tidak seharusnya menjadikan alasan aspek keadilan direduksi menjadi penyelesaian internal kelembagaan semata. Sanksi administrasi bukanlah berada dalam posisi dikotomik pilihan yang berhadapan secara menegasikan terhadap proses hukum positif yang seharusnya ada dan diterapkan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Selain itu, penyelesaian atas persoalan kesalahan aparat sering kemudian ditimpakan hanya pada seorang pelakunya (sering digunakan istilah “oknum”) dan melupakan atau meningalkan bahwa terdapat suatu kondisi di dalam institusinya yang memaksa ia, atau setidaknya memberi kesempatan padanya untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan. Hal ini tidak mengherankan, karena merupakan salah satu cara tindakan cuci tangan dari para perwira di atasnya jika kondisi tidak memungkinkan bagi pembelaan instistusional akibat tekanan politik dan moral yang begitu kuat dari masyarakat umum.


Hingga kini, pelaku belum ditetapkan sebagai tersangka. Proses pemeriksaan juga tidak jelas akan di bawa ke mana. Diperlukan pengawasan dan kontrol yang ketat dari berbagai pihak agar kasus ini tidak menguap begitu saja, sebagaimana kasus-kasus terdahulu, sehingga kejadian serupa tidak akan terulang. Rakyat harus berbuat untuk menghentikan kesewenang-wenangan aparat. Tugas kita adalah memberi tekanan politik dan moral yang kuat***

*Penulis Adalah Alumnus Fakultas Filsafat UGM

Tidak ada komentar: