Halaman

Senin, 19 November 2007

KASUS MARTHOLOMEUS SURYADI DAN PERSOALAN KEPOLISIAN INDONESIA

Oleh: Jimmy Jeniarto*

Kasus penembakan Martholomeus Suryadi merupakan satu contoh terbaru dari ketidak profesionalan aparat Kepolisian. Pelaku penembakan secara semena telah menggunakan pola kekerasan dengan senjata api, serta tidak mendasarkan pada azas praduga tak bersalah. Selain ditembak, Suryadi juga mendapat bentakan, umpatan, perkataan kasar dan kotor, serta berbagai ancaman dari pelaku penembakan dan teman-teman pelaku penembakan. Padahal tidak ada sedikitpun alasan bagi pelaku untuk menggunakan kekerasan. Apakah peristiwa tersebut merupakan kesalahan dalam pengambilan keputusan, ataukah memang terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan aparat Kepolisian, yang jelas telah terjadi insiden yang mengakibatkan jatuhnya korban cedera.

Dengan alasan menjaga keamanan dan ketertiban, Kepolisian sering menggunakan kekerasan (fisik maupun psikis) yang eksesif terhadap masyarakat sipil, baik di dalam penanganan kasus kejahatan maupun kasus non-kejahatan (demo, sengketa tanah, pelanggaran lalu lintas, dll). Polisi sering berlindung di balik Undang-Undang demi melegalkan tindakan semena-mena dan kekerasan, yang pada kenyataannya sebagian besar tindakan tersebut berlebihan dan dipaksakan. Misal, aparat Kepolisian sering membubarkan secara paksa dengan kekerasan yang membabi buta pada aksi-aksi demonstrasi yang dilakukkan masyarakat. Atau, seorang pencuri yang telah tertangkap kemudian ditengkurapkan untuk ditembak kakinya. Pencurian adalah kejahatan, namun penembakan pada orang yang telah menyerah dan tidak berdaya adalah kejahatan juga.



Perilaku Kekerasan Polisi Indonesia


Secara teoritis, kekerasan ada di dalam dua bentuk, yakni fisik dan psikis. Meskipun kadang bersifat subjektif bagi korban, namun kekerasan sering dianggap sebagai bentuk ekspresi emosional yang tidak atau kurang menggunakan rasionalitas. Tindakan kekerasan kemudian ditempatkan ber-oposisi terhadap tindakan intelektual yang berlandas pada rasionalitas.


Pada kenyataannya, kekerasan merupakan jalan yang secara serampangan sering digunakan untuk penggampangan penyelesaian persoalan, yang sebenarnya memiliki dampak yang tidak sederhana. Berbagai argumen dibangun untuk menjustifikasi tindakan kekerasan, argumen aksi maupun reaksi, ofensif maupun defensive. Namun apapun alasannya, tindakan kekerasan akan berakibat pada jatuhnya korban, tak peduli dari pihak yang mana.

Di Indonesia, kekerasan merupakan banalitas yang terlanjur diadopsi dan dibiarkan, kalau tidak malah disepelekan, oleh sebagian besar masyarakat. Kekerasan sering dipraktikkan bahkan untuk hal-hal yang sederhana secara akal umum. Kekerasan bukan lagi dianggap sebagai tragedi sosial, namun lebih pada persoalan individual dan aksidental yang lumrah. Padahal, seorang individu hidup di dalam sebuah masyarakat, dan ia menginternalisasi nilai-nilai masyarakat di mana ia berada, yang kemudian berlandaskan nilai-nilai tersebut melakukan tindakan konkret. Maka kekerasan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia ada sebagai nilai-nilai dan sekaligus tindakan konkret yang dianggap biasa. Berbagai contoh tentang permisifitas masyarakat Indonesia terhadap praktek kekerasan dapat ditemui dengan mudah. Misalnya penganiayaan pada pencuri yang tertangkap, bentrokkan warga antar kampung, konflik kekerasan antar agama atau keyakinan, dan lain sebagainya.

Namun lebih ironi lagi, di Indonesia, kekerasan justru secara vulgar dan sistematis sering dipraktekkan oleh Negara melalui perangkatnya: Pemerintah, Penjara, dan Aparatur Bersenjatanya. Di sini persoalan menjadi lebih rumit dan kadang dilematis, karena kesewenang-wenangan dan kekerasan kemudian dilegalkan oleh Negara dengan menggunakan dan mengatasnamakan Undang-Undang. Tak hanya itu, Negara sering melindungi aparaturnya yang secara faktual melakukan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan universal, dan hal ini membuktikan bahwa Negara memiliki peran besar bagi lahir dan berlangsungnya nilai-nilai kesewenang-wenangan dan kekerasan di dalam sebuah masyarakat Negara Indonesia.


Pada masa Orde Baru, Kepolisian yang menjadi bagian ABRI, turut memikmati superioritas aparat Negara yang lemah kontrol dan monitor. Masyarakat sipil sering menjadi korban kesewenang-wenangan aparat Negara, termasuk Polisi. Di sisi lain, masyarakat sipil justru inferior dan tidak bisa mengakses proses hukum dan sanksi internal di lembaga Kepolisian, sehingga tidak banyak diketahui tentang mekanisme pemrosesan dan hasil-hasil sanksi anggota Kepolisan yang melakukan pelanggaran. Tak jarang, demi semangat korps maupun menutupi aib, Lembaga Kepolisian waktu itu malah membela anggotanya yang melakukan pelanggaran, atau setidaknya menutup-nutupi dan merahasiakan kasusnya. Di sisi lain, masyarakat sipil kurang berdaya mengontrol dan memonitor perilaku Polisi karena kurangnya alat kontrol dan monitor maupun kurangnya kesadaran akan hal ini di tingkat masyarakat sendiri, selain tentu saja faktor watak dan kelakuan Rezim yang ultra represif.

Zaman telah berubah, namun penyakit lama masih menginfeksi tubuh Kepolisian. Memang, Kepolisian sering menggembar-gemborkan reformasi internal. Namun pada saat yang sama, borok-borok lama kambuh lagi. Kesewenang-wenangan, ketidakprofesionalan, dan pelanggaran hukum yang di lakukan anggota Kepolisian merupakan perwujudan dari persoalan kultural dan struktural di dalam Lembaga Kepolisian RI yang belum selesai.


Persoalan Hukum



Jika seorang anggota polisi melakukan pelanggaran yang dapat dikenali secara langsung sebagai tindakan kriminal (misal pencurian atau pemerkosaan), masyarakat dapat langsung menilai bahwa pelaku telah melanggar Undang-Undang. Namun untuk kasus-kasus seperti pada Martholomeus Suryadi, penganiayaan dalam aksi demonstrasi, penganiayaan terhadap pelaku kriminal yang telah menyerah atau ketika di dalam proses interogasi, dan lain sebagainya, masyarakat masih bingung apakah tindakan Polisi tersebut termasuk pelanggaran Undang-Undang, ataukah hanya kesalahan prosedur, ataukah malah tidak terjadi pelanggaran sama sekali dengan alasan dilindungi Undang-Undang?

Dasar filosofis dari Hukum dan segala turunannya adalah nilai-nilai kemanusiaan universal. Negara membuat hukum dan menjalankannya. Jika terdapat anggota Kepolisan melakukan tindakan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan, namun ia dinyatakan tidak bersalah oleh Negara melalui Undang-Undang, bukankah hal ini berarti bahwa Negara telah melegalkan pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan? Padahal, menurut Statuta Roma, jika kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan sebuah sistem kekuasaan secara nyata mendukung terjadinya pelanggaran kemanusiaan, maka hal ini berarti telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia berat.

Sering kali, pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan anggota Kepolisian direduksi oleh Lembaga Kepolisian sendiri hanya sebagai pelanggaran kode etik dan pelanggaran prosedur tetap. Sanksi yang dijatuhkan pun hanya berupa teguran atau sanksi administratif. Jika demikian, apa gunanya hukum pidana umum dibuat oleh Negara? Bukankah semua orang berkedudukan sama di depan hukum, sehingga hukum pidana umum diperuntukkan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali?

Memang benar bahwa di dalam tugasnya, Polisi diberi kewenangan diskresi (discretionary), yakni diberi ruang oleh hukum untuk mengambil kemungkinan tindakan yang diperlukan menurut pertimbangan sesaat pada waktu kejadian berlangsung. Akan tetapi kewenangan tersebut bukanlah tanpa variable kontrol yang mengukur dasar-dasar pembenar setiap tindakan yang diambil seorang Polisi. Kewenangan diskresi tetap disertai parameter-parameter yang akan membenarkan maupun membatasi sejauh mana tindakan seharusnya diambil. Apalagi jika kewenangan diskresi tersebut sudah berhubungan dengan penggunaan senjata api. Karena, sebagaimana Hartjen, the problem with discretionary law enforcement is that there is a tin line between discretion and discrimination (Tb Nitibaskara;2007).

Setiap Lembaga Negara memiliki aturannya masing-masing, memiliki tata tertib, cara, dan prosedur masing-masing di dalam mengatur diri. Namun hal tersebut tidak berarti kemudian Lembaga bersangkutan memiliki semacam imunitas dan terlepas dari hukum yang berlaku universal yang dibuat oleh Negara. Tidak boleh terjadi semacam Negara di dalam Negara.

Di dalam sebuah masyarakat yang masih menggunakan lembaga negara sebagai otoritas tunggal pemegang kekuasaan, raison d etre-nya hukum adalah menormalkan atau menertibkan kembali masyarakat yang mengalami konflik kepentingan (Restutitio in Integrum). Hal ini mensyaratkan adanya alat pemaksa ketertiban. Namun jika para pemaksa ketertiban sendiri menggunakan cara-cara yang justru tidak tertib, maka hal ini berarti pula terjadi pemberantasan kejahatan melalui kejahatan yang lain. Kondisi tersebut menciptakan mata rantai lingkaran setan kejahatan yang tak pernah terputus.


Perlunya Kontrol dan Monitor


Salah satu hasil desakkan Reformasi adalah pemisahan Lembaga Kepolisian RI dari Tentara. Kepolisian RI saat ini tidak lagi tergabung di dalam Tentara Nasional Indonesia (dahulu bersama tentara disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia-ABRI). Pemisahan dan pembedaan ini didasarkan pada peran, fungsi, pertanggung jawaban, dan pengawasannya.

Terhadap kesewenang-wenangan, ketidak profesionalan, dan pelanggaran hukum yang dilakukan anggotanya, tak jarang pihak Kepolisian menempuh penyelesaian internal yang tertutup. Jalan penyelesaian tersebut sulit dan tidak dapat diakses masyarakat luas, sehingga justru menyuburkan potensi tumbuhnya penyimpangan-penyimpangan lain yang baru di dalam proses penyelesaian internal tersebut. Padahal, persoalan Kepolisian tidak eksklusif milik Lembaga Kepolisian. Masyarakat luas berhak mengetahui persoalan yang diidap Kepolisian. Sebagai sebuah lembaga keamanan di suatu masyarakat, Kepolisian dibiayai oleh masyarakat bersangkutan. Maka, masyarakat bersangkutan berhak pula melakukan kontrol dan monitor terhadap berjalannya lembaga Kepolisian. Pada kenyataannya, Kepolisian sering berjalan sendiri terpisah dan terlepas dari kontrol dan monitor masyarakat. Dengan dalih persoalan internal, Kepolisian sering menutup diri dari akses masyarakat umum jika terjadi penyimpangan yang dilakukan anggotanya.

Masyarakat umum hingga saat ini belum banyak yang tahu cara pandang Lembaga Kepolisian RI terhadap berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan anggotanya. Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara berhak tahu mekanisme penegakkan disiplin di Lembaga Kepolisian, sehingga dapat memberi masukan-masukan bagi peningkatan kwalitas Kepolisian. Kita maklum bahwa Kepolisian RI saat ini sedang berada pada proses transisi dari alat kekuasaan totaliter Orde Baru menuju aparat keamanan masyarakat sipil yang demokratis. Justru karena itulah dibutuhkan kontrol dan monitor dari masyarakat dengan berbagai bentuk dan alatnya, agar proses transisi tersebut berjalan lancar. Memang, masih akan ada resistensi dari kelompok-kelompok di dalam Lembaga Kepolisian RI yang mencoba menghambat peran aktif kontrol dan monitor masyarakat sipil pada Kepolisian.

Secara garis besar, terdapat tiga wilayah yang harus dikontrol dan dimonitor oleh masyarakat, yakni pada input, proses, dan output lembaga Kepolisian. Aspek input misalnya pada rekruitmen calon anggota Kepolisian. Aspek proses misalnya pada pola dan materi pendidikan calon anggota maupun kursus atau sekolah lanjutan anggota kepolisian. Sedangkan output misalnya persoalan kwalitas bekerjanya para anggota serta berjalannya lembaga Kepolisian sehari-hari, dan lain sebagainya.



Penutup


Peristiwa penembakan Martholomeus Suryadi merupakan gambaran bahwa jabatan dan senjata telah mempengaruhi cara pikir aparat terhadap warga negara biasa. Dengan jabatan dan senjata, aparat kepolisian merasa lebih berkuasa dari pada rakyat biasa. Sedangkan pernyataan Kapolres Sleman bahwa kasus Suryadi hanyalah kesalah pahaman adalah wujud arogansi yang lain dari aparat Polisi, mengingat pada saat pernyataan itu diucapkan, pengusutan terhadap peristiwa penembakan itu sendiri belum masuk pada tahap pemeriksaan saksi korban untuk dimintai keterangan.

Penembakan yang dilakukan anggota Kepolisian terhadap Suryadi tidak boleh disederhanakan hanya persoalan salah paham. Perlu dikaji sejauh mana prosedur dan kelengkapan Polisi dalam bertugas telah dipenuhi pelaku penembakan, dan hal ini menyangkut profesionalitas Polisi. Selain itu, anggapan bahwa peristiwa tertembaknya Suryadi hanyalah kesalah pahaman merupakan bentuk penyederhanaan, tutup mata, dan pelecehan terhadap adanya tindak pelanggaran hukum. Jika pelaku hanya dikenai sanksi administrasi internal Kepolisian, maka telah dilanggar prinsip bahwa semua warga negara berkedudukan sama di depan hukum. Hal ini berarti aparat kepolisian memiliki kekebalan hukum, dan hukum menjadi diskriminatif.

Hingga kini, status pelaku tidak ditetapkan sebagai tersangka dengan alasan hanya terjadi pelanggaran disiplin dan bukan pelanggaran kemanusiaan, yang kemudian akan dicarikan pembenaran di berbagai peraturan perundang-undangan. Jika kemudian nanti Negara membebaskan pelaku dengan berbagai alasan prosedural dan teknikal yang ditamengi dengan peraturan perundang-undangan, maka hal ini merupakan bentuk perlindungan yang dilakukan Negara, melalui kebijakan politik dan perundang-undangan, terhadap pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan aparat Kepolisian.***

November 2007


*Penulis adalah alumnus Fakultas Filsafat UGN

Tidak ada komentar: